Dear Luna “Love”
Bagaimana kondisi kesehatanmu? Kuharap aku bisa segera pulang setelah semua urusanku selesai…
Love you,
Arya
Arya mendesah dan memejamkan mata. Jadwal yang padat membuatnya sedikit kelelahan hari ini. Dia tidak berharap akan mendapat balasan dari email yang dikirimnya malam itu, namun sebuah email baru telah menghuni inboxnya.
Lovely Arya…
I miss you so much… Aku baik-baik saja… Selesaikan saja urusanmu dan selamatkan nyawaku…
Luna “Love”
Arya tersenyum. Ah, dia memang selalu ada untuk mendukungku, batinnya. Arya kembali membalas email dengan senyuman lebar.
“Love” Luna…
Terimakasih… Terimakasih karena kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu. I love you…
Arya.
Arya mematikan notebook dan menyalakan lampu meja belajarnya. Diambilnya sebuah kamus tebal dan ditelusurinya kata-kata yang ada satu persatu. Tak lama kemudian mata itu terpaku pada sebuah kata. Diambilnya lagi sebuah buku lainnya yang tidak kalah tebal kemudian diletakkan buku itu disamping kamus yang telah dibukanya lebih dulu. Dalam hatinya dia berujar, “Aku pasti bisa!”
+++
“Outstanding! (1)” kata Dr. Carter saat Arya menemuinya di ruangan pribadinya. Arya tersenyum puas. “Thanks, but I do need some informations from you about that case (2),” katanya. Dr. Carter tersenyum dan duduk di depan Arya. Dia siap membuka diskusi panjang bersama murid terbaiknya.
“Can I ask you something? (3)” tanyanya sebelum diskusi dimulai. Arya mengangguk. “Sebenarnya siapa Luna? Kenapa kau begitu berambisi untuk menyelamatkannya?” tanya Dr. Carter. Arya tampak berpikir sejenak. “Is she your girl? (4)”
“More than just a girl, Sir. She is my everything (5),” jawab Arya. Dr. Carter mengangguk-angguk. “Kalau begitu kamu harus menjadi neuro surgeon secepatnya. OK, what do we get for today?” tanyanya. Arya menyodorkan beberapa lembar kertas. Dr. Carter membacanya dengan serius dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Im sorry, it is untreatable (6),” kata Dr Carter sambil melepas kacamatanya. Arya mendesah. Dia sudah menduga jawabannya akan seperti itu. “There must be a way (7),” kata Arya lirih. Dr. Carter mendesah.
“Kamu sudah mendapatkan hasil terakhir MRI-test-nya?” tanya Dr. Carter. Arya mengangguk. “Sel jahanam itu sudah menyebar terlalu jauh,” jawab Arya sedih, namun masih terdengar optimis. Dr. Carter bangkit dan menepuk-nepuk punggung Arya. “Jangan menyebutnya dengan jahanam,” katanya. Arya menunduk. Jangan menyebutnya dengan jahanam katanya? Lalu nama apa yang akan kau berikan pada sebuah penyakit yang mengancam nyawa orang yang paling kau cintai?
“We will find the way to save her. I promise (8),” kata Dr. Carter menenangkan Arya. Tangannya menggenggam kedua pundak Arya. “I’m terribly sorry (9),” katanya lagi. Arya mengangguk. Tanpa dia sadari air matanya menetes.
+++
Dear Luna…
You have to be strong for your surgery (10)… I miss you so much…
Arya.
Arya mendesah dan mengambil buku pemberian Dr. Carter di dalam tasnya. Menjadi seorang dokter bedah syaraf memang bukan hal yang mudah. Dia harus melalui pendidikan di fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada selama enam tahun lamanya. Betapa beruntungnya dia saat terpilih untuk mengikuti ajang pertukaran pelajar dengan mahasiswa Harvard University dan menjadi the best student selama masa pertukaran tersebut. Dengan senang hati dia menerima tawaran untuk melanjutkan sudinya di universitas terbaik di Amerika itu.
Arya kembali mendesah untuk kedua kalinya saat membaca email balasan dari Luna. “Aku akan menunggumu, Sayang. Tetaplah berjuang.” Arya membaca email itu keras-keras. Ada sesuatu yang dirasa meletup di dalam tubuhnya. Semangat itu kembali muncul. Arya mengambil spidol berwarna merah dari laci mejanya dan kembali belajar.
“Hey, I heard someone speak Indonesia here (11),” kata Eric, teman satu asramanya yang baru saja masuk. Arya tersenyum dan menatap sahabatnya yang duduk di tempat tidurnya. “Belum tidur?” tanya Eric. Arya tersenyum dan menggeleng. Pikirannya kembali terfokus pada buku yang sedang dibacanya.
“Bisakah kau berhenti belajar sebentar saja?” tanya Eric sambil mengambil buku Arya yang ada di meja. Arya mendengus kesal. “I can’t,” jawabnya singkat sambil merebut kembali buku yang diambil oleh Eric. Eric tertawa geli. “Jangan sampai sel otakmu mengalami mutasi karena terlalu banyak menghafal pelajaran kedokteran,” katanya. Mau tidak mau Arya tertawa.
“I just wanna be the best student (12),” katanya. Eric tersenyum. “Everyday, each semester, every year (13),” lanjutnya. Arya hanya tersenyum. Dia selalu menerima hasil outstanding selama belajar di Harvard. Semua itu dia lakukan untuk Luna. Untuk menyembuhkan penyakit mematikan yang dialami olehnya.
“She is a strong girl, you know (14). Kebanyakan penderita oligodendroglioma tahap akhir tidak mampu survive,” katanya. Arya hanya mengangguk-angguk. Sulit menyembuhkan penyakit itu hanya dengan operasi, batinnya.
“Aku memiliki beberapa daftar lembaga yang mengurusi masalah kanker. Mungkin kau membutuhkannya,” kata Eric. Arya tersenyum. “Thanks, tapi Luna akan tetap tinggal dan menjalani pengobatan di Indonesia,” jawabnya. Eric menggelengkan kepala.
“You sure? (15)” tanyanya tidak percaya. Arya mengangguk dan tersenyum. “Padahal kau sendiri pernah bilang kalau teknologi kedokteran di negaramu masih kalah jauh dengan Amerika. Kualitas dokter-dokternyapun tidak bisa bersaing dengan dokter-dokter lulusan Harvard. Bagaimana mungkin kau bisa menyerahkan Luna pada orang-orang yang tidak professional seperti itu?” tanya Eric heran.
“Aku kan dokter lulusan Harvard,” jawab Arya enteng. Eric langsung bangkit dari duduknya. “Kau tidak berencana mengobatinya sendiri kan?” tanyanya kaget. Arya terkekeh. “Aku sudah mengontak beberapa dokter ahli bedah onkologi di negaraku dan mereka siap membantu mem-follow-up Luna,” jawabnya.
“You must be kidding me! (16)”
+++
Dear Luna…
Aku sedang mempelajari penyakit yang kau derita. Aku berdiskusi dengan temanku dan kami menemukan cara untuk mengakhiri penyakitmu. Besok aku akan bertemu dengan Dr. Carter dan berbicara dengannya mengenai masalah ini.
Your dearest Arya.
Beberapa lama kemudian sebuah email masuk.
Arya…
Terimakasih karena kau mau berjuang untukku. Melihat semangatmu yang begitu menggebu membuatku ingin hidup lebih lama lagi. I love you so much.
Luna
Tanpa terasa sebutir air mata jatuh dari mata elang Arya. Aku akan terus berusaha, Luna. Aku akan terus berjuang demi kesembuhanmu...
+++
“It might not work, Arya (17),” kata Dr Carter saat Arya mendiskusikan terapi yang rencananya akan digunakan untuk menyembuhkan Luna.
“It won’t work if we don’t try (18),” jawab Arya. Dr Carter mendengus kesal. “Now what, kau akan menjadikan Luna sebagai kelinci percobaanmu?” tanyanya. Arya langsung menunduk. “Don’t be so selfish (19). Kau harus berpikir ulang untuk menerapkan metode ini pada Luna.”
“Lalu apa lagi yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan nyawanya? Aku datang dengan berbagai solusi pengobatan namun kau selalu menolaknya mentah-mentah! She is very important for me, and I’ll do anything to save her life! (20)” kata Arya sedikit kecewa. Dr. Carter tampak menghela nafas.
“So you have to think deeper (21),” kata Dr Carter menenangkan Arya. Arya terdiam. “Kau adalah mahasiswa spesialis semester akhir Harvard Medical School, and you are my best student. I know you know what you have to do. Namun kali ini kau harus mengurangi sedikit sifat keras kepalamu itu. She is untreatable. You know that. You better take her home and make her comfortable (22),” kata Dr Carter.
“But I can’t,” kata Arya. Dr Carter menghela nafasnya. “I lost my parents two years ago. Please, Doc. You have to understand me. She is my sister (23),” kata Arya sedikit putus asa. Dr Carter tampak kaget.
“Jadi Luna adikmu?”
Arya mengangguk.
“Dan dia satu-satunya anggota keluargamu yang masih hidup?”
Arya mengangguk lagi.
“You know, it will be worth it to try that methods. I’ll help you (24),” dukung Dr. Carter.
+++
Dear Luna…
I miss you so much… Aku akan pulang ke Indonesia bersama Dr Carter minggu ini.
Arya.
Arya menekan tombol send dan tersenyum puas. Beberapa lama kemudian sebuah email balasan masuk.
Lovely Arya…
Aku akan menjemputmu di airport!
Luna loves you.
Arya tersenyum simpul. Seandainya saja kau masih memiliki cukup tenaga untuk menungguku di ruang tunggu bandara seperti saat kau mengantarkan kepergianku ke Amerika beberapa tahun yang lalu, batin Arya. Dia segera mengetik email balasan dan mematikan laptopnya. Besok Dr Carter menunggu Arya di ruang pribadinya untuk berdiskusi. Dia harus datang lebih pagi jika tidak mau ada para interns yang meminta waktunya untuk mengajari mereka ini-itu.
Keesokan paginya…
“Dengan hasil MRI yang semakin membaik, aku optimis rencanamu akan berhasil,” kata Dr. Carter saat Arya melaporkan hasil pemeriksaan Luna. Arya tersenyum puas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Arya memiliki dua ponsel. Ponsel yang pertama digunakannya untuk berkomunikasi dengan teman dan dosen-dosennya. Ponsel yang kedua digunakannya untuk berkomunikasi dengan Luna, adiknya. Ponsel pertamanya tidak mungkin diaktifkan saat dia berdiskusi dengan Dr Carter.
Luna? Ada apa?
“Sorry, Sir,” kata Arya sambil berjalan menuju sudut ruangan. Dia mengangkat telepon itu dan terdengarlah suara Luna di seberang. “Hello, Rascal!” sapa Luna riang. Arya tersenyum.
”Ada apa meneleponku?”
“Aku hanya merindukan kakakku. Ada yang salah?”
“Of course not. Hanya saja waktunya kurang tepat. Ah, Dr Carter pasti mau merelakan waktu diskusinya berkurang untukmu.”
“Kapan kau akan pulang ke Indonesia?”
“Dua hari lagi. Kau harus mempersiapkan dirimu untuk operasi.”
“Sure. Aku akan kirim email untukmu.”
“Okay. Bye, Sissy.”
+++
Dear Luna…
Besok aku pulang ke Indonesia bersama Dr Carter. Tidak sabar rasanya. Aku merindukan pelukan hangatmu itu.
Arya.
Seperti biasa balasan email itu datang begitu cepat.
Arya…
Aku juga merindukan aroma colognemu yang aneh itu… He he he… Aku menunggumu, Sayang…
Luna.
Arya tersenyum dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia menoleh dan menatap dua koper sedang yang berdiri di depan lemarinya. Tunggu aku, Luna. Kau akan segera sembuh, batinnya.
Keesokan paginya, Arya dan Dr Carter bertemu di bandara. Dr Carter menyambut Arya dengan senyuman lebar. “You are ready for the journey, Kid,” sapa Dr Carter saat melihat Arya memakai baju bermotof batik berwarna merah marun. Dia mengacak-acak rambut Arya. Arya hanya tertawa. Tak lama kemudian Arya dan Dr Carter telah berada di dalam pesawat yang siap membawa mereka ke Yogyakarta.
Perjalanan yang cukup panjang membuat Arya dan Dr Carter lelah. Namun beberapa saat setelah kaki mereka menginjak tanah Indonesia (untuk Dr Carter ini adalah pengalaman pertamanya), rasa lelah itu berubah menjadi rasa senang yang membuncah. Sebuah mobil APV silver bertuliskan ”RS. BETHESDA” berhenti di depan ruang tunggu. Seorang supir segera membawa Arya dan Dr Carter ke rumah sakit.
Di rumah sakit…
Arya tertegun saat mendapati tubuh Luna tergolek lemah di ranjang ICU. Kenapa kau terlihat begitu lemah, Luna? Batinnya. Dengan perlahan dirabanya dahi sang adik. Luna membuka matanya perlahan-lahan.
“Kakak?”
Luna mengucek matanya beberapa kali. Arya segera merengkuhnya dalam pelukan. “Benar ini kau?” tanya Luna seraya memeluk sang kakak lebih erat lagi.
“Aku datang, Sayang,” kata Arya. Luna menangis haru di pelukan sang kakak. Arya melepas pelukannya dan memandangi Luna yang tubuhnya semakin mengurus.
“Kau diet ketat ya?” tanya Arya. Luna tertawa geli dan mencubit lengan sang kakak. “Tubuhku terlihat menyedihkan ya,” katanya sambil menatap mata kakaknya. Arya tersenyum dan kembali merengkuh sang adik dalam pelukannya. “Kau harus sembuh kembali,” katanya. Luna hanya mengangguk-angguk.
“Lama sekali aku tidak merasakan pelukan ini,” kata Arya. Luna tersenyum geli dan mendongakkan kepalanya menatap sang kakak. “Kemana parfummu yang berbau aneh itu? Aku merasa sedang berada di kuburan jika mencium aromanya,” balas Luna. Mereka tertawa bersama.
Seorang dokter menepuk pundak Arya, memintanya untuk ikut.
“Silakan masuk,” kata dokter itu sambil membuka pintu. Arya masuk dan mendapati Dr Carter bersama dengan beberapa dokter lainnya duduk mengitari meja marmer putih berbentuk elips. Arya menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.
“Ada sesuatu yang harus kami katakan pada Anda, dokter Arya,” kata seorang dokter berkepala botak. Tiba-tiba lampu di ruangan itu meredup, sejalan dengan sorotan sinar LCD pada layar yang semakin menyilaukan mata. “Itu adalah hasil terakhir MRI saudari Luna,” katanya lagi. Sekilas gambar tengkorak manusia itu tampak normal, namun mata Arya membelalak saat mendapati hampir seluruh otaknya tertutupi oleh bayangan putih.
“Sel kanker saudari Luna sudah menyebar ke seluruh otaknya. Operasi dan kemoterapi tidak bisa menolongnya,” kata satu-satunya dokter wanita yang ada di ruangan itu. Arya menatap hasil MRI itu tanpa berkedip.
“Ini bukan hasil tes terakhir Luna yang saya terima melalui email,” kata Arya tidak percaya. Semua dokter yang ada di ruangan terdiam, begitu pula dengan Dr Carter yang sejak tadi tidak mengerti pembicaraan para dokter itu.
“Kami mohon maaf. Pasien Luna sendiri yang meminta kami untuk mengirimkan hasil MRI palsu ke email anda,” kata seorang dokter berkacamata disusul anggukan dari rekan-rekannya. Mulut Arya kontan menganga.
“But why?” tanya Arya tidak percaya. Tanpa disadarinya sebutir air mata jatuh membasahi pipinya. “Pasien tidak ingin Anda khawatir dengan kondisinya yang semakin memburuk,” jawab dokter berkacamata itu lagi. Arya menghembuskan nafas panjang. “Doctor Carter, we will do the surgery tomorrow (25),” katanya. Tubuhnya bergetar menyadari peluang hidup sang adik sangat tipis.
Dr Carter menggeleng. “Its too risky, Dear. I’m afraid she will not awake anymore (26),” jawabnya. Arya menggeleng. “I will do the surgery tomorrow. Who else is with me (27)?” tanyanya. Tidak ada satupun dokter yang mengangkat tangannya tanda setuju. Arya menggeram. ”Fine! I’ll do it my self! (28)” katanya sambil bangkit dari tempat duduknya.
“You can’t do that, Kid. This is a big surgery. You can’t handle it alone (29),” kata Dr Carter berusaha menghalangi Arya yang hendak keluar ruangan.
“You are right. I can’t handle it alone(30). Tapi tidakkah hatimu tergerak untuk membantuku menyelamatkan adikku?” tanya Arya garang. Dr Carter tidak mengatakan apapun lagi. Arya tidak peduli dan segera menemui Luna di ruang rawatnya.
“Kenapa kau membohongiku?” tanya Arya saat mendapati Luna duduk di ranjangnya. Luna tersenyum manis. ”Mereka sudah memberitahumu?” tanyanya santai
“Untuk apa kau melakukan ini semua? Selama ini aku berjuang menjadi neuro surgeon terbaik agar aku dapat menyembuhkanmu!” kata Arya. Luna kembali tersenyum. “Kau telah menjadi dokter spesialis bedah syaraf terbaik, Kak,” katanya.
“Tapi semua ini kulakukan hanya untukmu! Untuk menyembuhkanmu!” kata Arya gusar. Matanya mulai basah.
“Penyakitku ini tidak dapat disembuhkan.”
“Siapa yang memberitahumu hal bodoh seperti itu?” tanya Arya gusar. Dia tidak dapat menutupi kegelisahannya. Sejujurnya dia mulai ragu dengan ambisinya menyembuhkan Luna. Apakah Luna benar-benar akan sembuh atau ini hanya akan membuatnya meninggalkanku lebih cepat? Batinnya.
“Why are you so stupid?! (31)” bentak Luna. Matanya menatap Arya dengan garang. “Mahasiswi kedokteran semester dua seperti akupun tahu kalau kanker ini tidak dapat disembuhkan!”
“Jangan membuang tenagamu. Kau akan dioperasi besok,” potong Arya sambil meninggalkan ruangan. Matanya basah. Nafasnya memburu. Kau akan sembuh, Luna. Harus! Batinnya.
+++
“Silakan Dok,” kata seorang suster yang baru saja memakaikannya baju operasi. Arya mengangguk dan berdiri di samping meja operasi. Diamatinya wajah Luna yang tengah tertidur. Kakak akan mengoperasimu sekarang. Bertahanlah, batinnya. Dia berjalan menuju bagian kepala sang adik dan bersiap-siap melakukan craniotomy.
“Skalpel,” katanya. Seorang suster menyerahkan sebilah pisau pada Arya. Dengan mantap dia mulai menggores kulit kepala sang adik. Operasi berjalan lancar sampai Arya menemukan gumpalan daging yang menempel di otak Luna. Dengan sekali potong, gumpalan itu telah berpindah dari otak Luna ke sebuah tempat berwarna keperakan yang dibawa oleh suster. Tiba-tiba terjadi pendarahan.
“Bring me the sucker (32),” kata Arya. Dia menyedot darah sang adik dengan sebuah alat. Arya juga meminta suster menyediakan darah untuk Luna. Dua jam lamanya dia berkutat dengan pendarahan yang semakin meluas. Saat itulah Dr Carter masuk dan berdiri di sampingnya.
“She needs more blood (33),” kata Arya saat mendapati Dr Carter berdiri di sampingnya. Dr Carter tampak mengamati sejenak kemudian menggeleng. Dia menoleh ke arah dokter yang mengawasi monitor otak. Dokter itu juga menggeleng. Dr Carter mengerti apa yang telah terjadi.
“Arya, She is gone (34),” kata Dr Carter sambil memegang pundak Arya. Arya menggeleng dan terus menghisap darah di otak Luna dengan alat penghisap. “She just needs more blood. Give her more blood!” kata Arya. Seorang suster hendak menambah darah Luna namun batal saat Dr Carter menatapnya dan menggeleng.
“She is gone, Arya,” kata Dr Carter lagi. Arya tidak peduli. Dia memegang alat penghisap lebih erat saat Dr Carter hendak mengambilnya.
“Arya, look at me (35).”
Arya tidak peduli.
“Look at me!” kata Dr Carter sedikit membentak.
”I can’t! I have to keep focus!” jawab Arya tidak kalah membentak.
“Arya, it’s over. Don’t fight anymore. She is gone (36),” kata Dr Carter lembut. Arya menggeleng berkali-kali. “Give her more blood,” katanya.
“No more blood, Arya. Let her go.”
Arya berontak.
“She just needs more blood. Give her more blood. Give her more!”
Arya terduduk lemas di lantai ruang operasi.
+++
(1) Mengagumkan!
(2) Terimakasih, tapi aku benar-benar membutuhkan informasi darimu mengenai penyakit itu.
(3) Boleh aku bertanya sesuatu?
(4) Apakah dia kekasihmu?
(5) Bukan hanya kekasih, Pak. Tapi dia segala-galanya bagiku.
(6) Maaf, penyakit ini tidak dapat disembuhkan
(7) Pasti ada jalan.
(8) Kita pasti akan menemukan jalan untuk menyelamatkannya. Aku janji.
(9) Aku benar-benar turut prihatin.
(10) Kau harus kuat untuk operasimu.
(11) Hey, aku mendengar ada yang berbicara bahasa Indonesia disini.
(12) Aku hanya ingin menjadi murid terbaik.
(13) Setiap hari, setiap semester, setiap tahun.
(14) Dia adaah wanita yang kuat, kau tahu.
(15) Kau yakin?
(16) Jangan mempermainkanku!
(17) Ini mungkin tidak dapat bekerja, Arya.
(18) Cara ini tidak mungkin bekerja jika tidak kita coba!
(19) Jangan egois!
(20) Dia sangat penting untukku. Aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawanya!
(21) Kau harus berpikir lebih dalam.
(22) Dia tidak dapat disembuhkan. Kau tahu itu. Lebih baik kau membawanya pulang dan membuatnya nyaman.
(23) Aku kehilangan kedua orang tuaku dua tahun yang lalu. Kau harus mengerti, Dok. Dia adalah adik perempuanku!
(24) Kau tahu? Akan lebih berharga jika kita mencobanya.
(25) Dokter Carter, kita akan melakukan operasi besok.
(26) Itu terlalu beresiko. Aku takut dia tidak akan bangun lagi.
(27) Aku tetap akan melakukan operasi itu besok. Siapa yang ikut serta denganku?
(28) Baiklah! Aku akan melakukannya sendiri!
(29) Kau tidak bisa melakukannya, Nak. Ini adalah operasi besar. Kau tidak akan sanggup menanganinya sendiri.
(30) Kau benar, aku tidak dapat menanganinya sendiri.
(31) Kenapa kau begitu bodoh!
(32) Bawakan aku alat penghisap.
(33) Diamembutuhkan lebih banyak darah.
(34) Arya, dia telah pergi.
(35) Arya, lihat aku.
(36) Arya, semua telah selesai...